Polsek
Pandak mengadakan Penyuluhan Hukum bagi anggotanya pada hari Kamis, 5 Juni 2014
pukul 09.00 Wib bertempat di Polsek Pandak. Penyuluhan Hukum disampaikan oleh
Kasubbag Hukum Polres Bantul AKP Sarjono yang didampingi oleh Bamin Bantuan
Hukum Subbag Hukum Polres Bantul Brigadir Tiastono Taufiq. Materi yang
dibawakan dalam Penyuluhan Hukum kali ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum. Acara Penyuluhan Hukum diikuti oleh anggota Polsek
Pandak dari masing-masing fungsi yang ada.
Penyuluhan
hukum diawali dengan sambutan Kapolsek Pandak, AKP Paimun, SH. Kapolsek mengharapkan kepada seluruh anggota, agar
mengikuti penyuluhan hukum dengan sungguh-sungguh. Kapolsek juga menyarankan,
apabila ada materi yang dibawakan oleh pemateri belum jelas, agar anggota tidak
segan untuk bertanya kepada narasumber. Hal ini penting karena disamping bisa
menambah wawasan bagi anggota juga sebagai bekal tugas di lapangan.
Menurut
AKP Sarjono, Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan
kehidupan yang adil serta melindungi hak asasi manusia dimana bantuan hukum
yang diberikan bertujuan untuk melindungi hak asasi masyarakat dalam hal
masalah hukum guna menghindari segala macam tindakan yang dapat membahayakan
atau tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum atau aparat pemerintahan.
“Pemberian
bantuan hukum bagi warga negara adalah untuk menjamin agar setiap orang dapat
terlindungi hak-haknya dari tindakan hukum yang diskriminatif sehingga apa yang
menjadi tujuan negara untuk menciptakan persamaan di hadapan hukum, dapat
terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum tersebut,”terang AKP
Sarjono.
AKP
Sarjono juga menerangkan, setidaknya terdapat lima point krusial dalam
implementasi bantuan hukum paska disahkannya UU No 16 Tahun 2011 tentang
bantuan Hukum, yakni :
Pertama,
mengenai limitasi Penerima Bantuan Hukum yang hanya terbatas pada masyarakat
tidak mampu. AKP Sarjono memandang Ketidakmampuan masyarakat harus dimaknai
secara luas, bukan hanya tidak mampu secara ekonomi, tetapi juga ketidakmampuan
dalam bidang sosial, politik, dan lain sebagainya. Sehingga penerima bantuan
hukum tidak hanya sebatas mereka yang miskin secara materi, tetapi juga
meliputi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan seperti anak, perempuan,
penyandang cacat, dan lain sebagainya. Peraturan Pemerintah perlu mengatur
lebih rinci tentang kriteria tidak mampu bagi masyarakat, dimana tidak hanya
berdasarkan kriteria miskin tetapi juga karena adanya kepentingan keadilan yang
menghendakinya. Fakta menunjukkan, organisasi bantuan hukum selama ini tidak
hanya menangani kasus-kasus orang miskin, tetapi juga kelompok rentan, seperti
disebutkan diatas.
Kedua,
mengenai Kewenangan tanpa Batas Penyelenggara Bantuan Hukum. Menurut UU Bantuan
Hukum pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM menjadi satu-satunya
penyelenggara bantuan hukum, yang memiliki kewenangan membuat kebijakan
(regulating), melaksanakan (implementing), anggaran (budgeting), dan pengawasan
(controlling). Melekatnya semua fungsi tersebut tidak lazim dan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance), dan berpeluang
menimbulkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Kita semua berharap
Peraturan Pemerintah harus menjamin bahwa implementasi dan penyelenggaraan
bantuan hukum dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan memenuhi rasa
keadilan para pencari keadilan (justice seeker).
Ketiga,
Permasalahan Verifikasi dan Akreditasi. Menurut AKP Sarjono, Verifikasi dan
akreditasi harus dimaknai bukan sebagai proses legalisasi organisasi bantuan
hukum, melainkan hanya bagian dari prosedur untuk mendapatkan dana bantuan
hukum dari pemerintah. Verifikasi dan akreditasi tidak boleh membatasi hak
masyarakat untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan.
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri harus menjamin, bahwa organisasi
bantuan hukum yang tidak ingin mengikuti verifikasi dan akreditasi (tidak
mengakses dana pemerintah), atau tidak lolos verifikasi dan akreditasi tetap
berhak untuk memberikan bantuan hukum dengan berpegang pada standar bantuan
hukum.
Keempat,
Pemberi Bantuan Hukum yang seakan-akan dimonopoli Advokat. Undang-undang
Bantuan Hukum menyebutkan empat elemen yang dapat memberikan bantuan hukum,
yaitu advokat, dosen, paralegal dan mahasiswa hukum. Keempat elemen tersebut
oleh UU dijamin menjadi bagian dari kegiatan bantuan hukum dan mereka akan
bekerja dibawah organisasi bantuan hukum. Peraturan Pemerintah tidak perlu lagi
membatasi bahwa yang dapat memberikan bantuan hukum hanyalah advokat, tetapi
yang perlu dilakukan adalah memperjelas ruang lingkup kerja masing-masing dalam
memberikan bantuan hukum. Selain itu, PP juga perlu memperjelas beberapa
kriteria pemberi bantuan hukum seperti legalitas LKBH yang ada di perguruan tinggi,
ataupun lembaga bantaun hukum yang
dibuat oleh organisasi kemasyarakatan seperti serikat buruh, dsb.
Kelima,
mengenai Prosedur Mendapatkan Bantuan Hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum
mengatur sedemikian rupa syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum. Tidak
selayaknya hak atas bantuan hukum terkalahkan oleh persoalan administratif.
Oleh karena itu, untuk memperkuat akses masyarakat tidak mampu terhadap bantuan
hukum, Peraturan Pemerintah yang akan disusun diharapkan memberikan
kemudahan-kemudahan agar seseorang yang betul-betul memenuhi kualifikasi miskin
dapat mengakses bantuan hukum tanpa terhambat dengan persoalan-persoalan
administratif.
Acara
Penyuluhan Hukum di Polsek Pandak berakhir pada pukul 10.00 Wib dan berlangsung
dengan tertib dan lancar. (Sihumas Pandak)
Posting Komentar