Jakarta
- Kapolri Jenderal Sutarman kembali menegaskan himbauannya supaya rumah tidak
dijadikan sebagai tempat ibadah rutin. Hal ini dikatakannya menanggapi dua
kasus bernuansa SARA yang terjadi di Yogyakarta pada Kamis (29/5) dan Minggu
(31/5).
"Di
Yogya ada penyerangan terhadap rumah yang dijadikan tempat ibadah. Rumah
dijadikan tempat ibadah rutin itu tidak boleh. Ini ketentuannya. Misalnya
digunakan salat Jumat dan kebaktian tiap minggu itu tidak boleh tapi kalau
sesekali boleh," kata Kapolri dalam arahan pada jajaran Polri di STIK Rabu
(3/6) malam.
Sehingga,
mantan Kabareskrim itu melanjutkan, kalau sampai ada rumah dijadikan sebagai
tempat ibadah rutin maka harus diingatkan.
"Penindakannya
itu ada di Satpol PP karena rumah tidak untuk peruntukannya jadi tempat ibadah.
Di Yogya itu sebenanya sudah tidak boleh digunakan karena melanggar Tipiring.
Yang begini lebih baik kita yang menutup daripada ditutup rakyat dan itu
timbulkan masalah dikemudian hari," tambahnya.
Tapi
kalau ada kekerasan pada orang yang tetap beribadah dirumah tersebut, masih
kata Sutarman, itu juga tidak boleh. Itu tanggung jawab Polri untuk
mengamankan. Peristiwa Cikeusik dan Kuningan dimana jemaah Ahmadiyah diserang
dan jadi korban tidak boleh lagi.
Peristiwa
di Yogya yang dimaksud Sutarman adalah kasus pembubararan dan penganiayaan
jemaat Katolik yang terjadi di Kompleks Perumahan STIE YKPN, Ngaglik, Sleman
dan kasus perusakan bangunan di Pangukan, Tridadi, Sleman yang dipakai umat
Kristen untuk menjalankan kebaktian.
Peristiwa
di Pangukan terjadi pada Minggu (1/6) siang adalah saat puluhan orang merusak
sebuah bangunan di sana. Bangunan itu milik seorang pendeta.
Warga
protes karena mengklaim bangunan itu tidak mendapat izin sebagai gereja dan
sejak tahun 2012 bangunan itu telah disegel oleh Pemerintah Kabupaten Sleman.
Tapi
protes massa ini berujung kekerasan saat massa yang mengenakan kain penutup
wajah itu melempari bangunan tersebut. Mereka juga memukuli bangunan itu dengan
palu.
Puluhan
polisi dan tentara yang berjaga tak berbuat banyak dan hanya berupaya mengimbau
massa untuk menghentikan perusakan.
Sedangkan
kejadian di YKPN yakni saat jemaat Katolik sedang menggelar Doa Rosario dalam
rangka bulan suci Maria yang jatuh pada bulan Mei.
Entah
bagaimana, tiba-tiba datang sekelompok massa, dan berupaya membubarkan acara
tersebut dan menganiyaya jemaat.
Michael
Ariawan, wartawan Kompas TV yang datang meliput juga tak luput dipukul oleh
penyerang dan handycam miliknya dirampas.
"Seluruh
Kapolres harus ketahui betul peta kerawanan diwilayahnya itu. Kalau ada
Kapolres ndableg (tidak care) itu harus dievaluasi oleh Kapoldanya. Tapi,
sekali lagi, kalau ada tindakan dari masyarakat itu tidak boleh. Negara harus
hadir, Polri harus hadir, ini tidak boleh lagi. Peristiwa Yogya tidak boleh
terjadi lagi," sambungnya.
Untuk
itu Sutarman berpesan sekali lagi jika anggotanya menemukan ada rumah yang
tetap dijadikan tempat ibadah rutin maka lebih baik ditutup. (beritasatu.com)
Posting Komentar