Kita mungkin
pernah menyaksikan sebuah pertandingan final sepak bola baik secara langsung di
stadion sepak bola maupun melalui tayangan yang disiarkan oleh stasiun
televisi. Selama berlangsungnya pertandingan, kedua kesebelasan dengan berbagai
taktik dan strategi serta penuh semangat mengerahkan kemampuannya baik secara
individu maupun secara tim untuk memenangkan pertandingan.
Kadangkala
selama pertandingan terdapat pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh
pemain sehingga wasit harus memberikan peringatan ataupun memvonis dengan
memberikan kartu kuning kepada pemain yang melanggar. Setelah 2 kali 45 menit,
wasit meniup peluit berakhirnya pertandingan dan salah satu kesebelasan telah
menjadi pemenang. Begitu mendengar tiupan peluit dari wasit bahwa pertandingan
selesai, tim yang menang akan meluapkan kegembiraannya sebagai tim yang juara
dan tim yang kalah tentu akan merasa kecewa karena tidak dapat menjadi juara.
Seharusnya,
dalam sebuah pertandingan yang berjalan dengan baik, dipimpin oleh wasit yang
netral, kedua tim telah bermain secara fair (fair play), luapan kekecewaan tim
yang kalah tentu bukan karena ia membenci lawan yang telah memenangkan
pertandingan, namun karena kurang optimalnya persiapan serta taktik dan
strategi yang diterapkan. Dengan kata lain, tim yang kalah sebenarnya bukan tim
yang lemah, tetapi sama – sama memiliki peluang untuk memenangkan pertandingan.
Tulisan
diatas mungkin dapat kita jadikan sebagai perumpamaan dalam kehidupan sehari –
hari, baik dalam persaingan politik maupun ekonomi. Kaitannya dengan hasil
keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah menolak gugatan salah satu pasangan
Capres terhadap KPU mengenai perselisihan rekapitulasi penghitungan suara
secara nasional, tentu wajar akan menimbulkan kekecewaan. Namun kekecewaan itu
tidak harus menjadi bibit kebencian kepada pihak yang lain, bisa jadi kekalahan
adalah kemenangan yang tertunda.
Posting Komentar